Mojokerto-(satujurnal.com)
Penyunatan dana program bantuan siswa miskin (BSM) rupanya masih saja terjadi, kendati pun regulasi program ini relatif cukup ketat. Pemerataan penyebaran dana dan biaya lain-lain yang muncul untuk menyerap dana program ini lagi-lagi dijadikan tameng oleh pihak sekolah tatkala publik menyoal ketidaktetapan bahkan penyimpangan atas pemanfaatan dana yang seharusnya menjadi hak penuh siswa sasaran penerima program. Seperti yang terjadi di SDN Brangkal, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto.
Di sekolah yang memiliki 120 siswa ini, hanya 92 siswa yang mendapat kucuran dana BSM. Nominal BSM siswa SD yang mestinya Rp 425 ribu per siswa hanya diterimakan Rp 180 ribu. ’’Modus pemotongannya, semua siswa digiring ke bank untuk mencairkan. Setelah cair, uangnya diminta sekolah untuk dikumpulkan dan dipotong,’’ kata salah satu wali murid.
Regulasi BSM sebenarnya tak memberi ruang untuk pemotongan dana semacam. Mekanismenya, pemerintah mentransfer dana BSM ke bank pembangunan daerah (Bank Jatim). Bank tidak boleh mengenakan biaya administrasi. Rekening juga dicetak langsung dengan nama siswa penerimanya. Dana BSM yang ditransfer hanya dapat dicairkan siswa bersangkutan. Ini sebagai perbaikan karena sebelumnya banyak ditemukan pemotongan BSM ketika dana siswa dilewatkan sekolah.
Selain itu, siswa penerima juga diperbolehkan mengambil semua dana yang masuk rekening dengan tanpa menyisakan saldo sama sekali. Meski saldonya nol, rekeningnya tidak akan ditutup. Itu dilakukan sebagai bentuk keseriusan pemerintah pusat menjaga agar BSM benar-benar bersih dari penyelewengan.
Tapi ternyata, sekolah tidak kalah cerdik dalam menyiasati pungutan. Dengan berbagai dalih, sekolah akhirnya hanya memberikan Rp 180 ribu kepada siswa penerima.
Dikonfirmasi terkait hal itu, Kepala SDN Brangkal Istiaji menuturkan bahwa sebenarnya dia mengusulkan penerima BSM sebanyak 120 siswa. Tapi yang dapat ternyata hanya 92 siswa. Waktu pencairan, semua siswa itu digiring ke UPT karena bank memberikan pelayanan di UPT. ’’Anak-anak hanya mencairkan Rp 400 ribu. Jadi di rekening masih Rp 25 ribu,’’ katanya, Jum’at (21/02/2014).
Dari Rp 400 ribu yang dicairkan, sekolah melakukan pemotongan untuk ganti tranpot. ’’Pemotongan Rp 20 ribu per siswa untuk transpot,’’ ujarnya.
Sisanya Rp 380 ribu lantas dibagi dua. ’’Karena yang miskin banyak, maka yang miskin tapi tidak dapat BSM juga diberi,’’ kilahnya.
Sehingga yang menikmati BSM dua kali lipat. Rinciannya, 92 penerima asli, dan 92 penerima yang ditunjuk sekolah. Alhasil, uang Rp 380 ribu itupun dibagi dua sehingga masing-masing mendapat Rp 190 ribu. Itupun masih ada dana yang ditahan sekolah untuk melunasi tunggakan siswa seperti buku yang belum dibayar atau untuk membelikan kebutuhan siswa seperti seragam. ’’Karena sebelumnya ketika dana langsung diberikan ke orang tua banyak yang tak dibelikan kebutuhan siswa. Jadi ada yang sudah terima dana tapi seragamnya rusak dibiarkan saja,’’ kelit Istiaji.
Sementara itu, Komisi D (kesra dan pendidikan) DPRD Kabupaten Mojokerto yang menerima keluhan terkait pemotongan dana BSM teresbut langsung turun tangan. Mereka inspeksi mendadak ke SDN Brangkal guna mengklarifikasi kabar pungutan tersebut, Jum’at (21/02/2014).
“Pemotongan dana BSM yang dilakukan SDN merupakan pelanggaran serius. Kalau pemotongan itu benar, maka bisa dipidanakan,” tandas Mahfud Kurniawan Hidayat, wakil ketua Komisi D.
Pelaku pemotongan BSM bisa dijerat Undang-undang nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin. Seperti termaktub dalam pasal 43 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin dipidana dengan pidana penjara penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Ayat 2 menegaskan lembaga yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin dipidana dengan denda paling banyak Rp 750 juta.
’’BSM itu termasuk dalam kategori dana penanganan fakir miskin. Karena program itu diluncurkan untuk penanganan fakir miskin agar anak-anak para fakir miskin tidak sampai putus sekolah,’’ paparnya.
Komisi ini mempertanyakan apakah kebijakan itu sesuai intruksi UPT dan sudah mendapat persetujuan komite sekolah. ’’Komite tidak ada, tapi orang tua sudah kita beri sosialisasi soal itu. UPT tidak memberikan persetujuan secara tertulis, tetapi secara lisan menyatakan diratakan seperti itu boleh tapi harus ada kesepakatan,’’ kata Istiaji, kepala SDN Brangkal.
Dihubungi terpisah, Kepala UPT Pendidikan Kecamatan Sooko, Ponari, mengaku tidak pernah memberikan persetujuan kepada sekolah untuk memotong BSM. ’’Saya tidak pernah memberikan persetujuan untuk memotong BSM,’’ tandas dia. (one)
Social