Mojokerto-(satujurnal.com)
Beberapa sekolah negeri di Kota Mojokerto rupanya masih terus mencari celah menyikapi kebijakan Walikota Maskud Yunus yang meniadakan segala bentuk pungutan sekolah.
Setelah polemik tarikan siswa di SMAN 3 redah kini muncul tarikan siswa dengan 'modus baru' di SMA Negeri 2 . Di sekolah yang sempat menyandang label RSBI ini membebani setiap siswanya biaya hingga Rp 275 ribu untuk beberapa item kegiatan .
Antara lain pembelian kalender Rp 20 ribu, asuransi kecelakaan Rp 25 ribu, idul qurban Rp 40 ribu, iuran OSIS Rp 90 ribu, tabungan outbond Rp 10 ribu, persami Rp 30 ribu dan buku fisika Rp 70 ribu.
Yang tidak lazim, guru mencatat rincian rencana kegiatan plus biaya yang ditetapkan di papan tulis untuk disalin dan dicatat setiap siswa. Catatan itu yang disampaikan ke orang tua mereka. Begitu semua siswa rampung menyalin, serta merta guru yang bersangkutan menghapus semua catatan di papan tulis.
Cara ini oleh orang tua siswa dinilai janggal. Lazimnya, untuk kepentingan pungutan sekolah, sekolah menerbitkan surat edaran berikut blanko tanda bukti pembayaran.
Seorang walimurid SMA Negeri 2 Kota Mojokerto mengatakan, pengumuman pungutan sekolah itu disalin anaknya yang duduk di kelas X pekan lalu.
''Anak saya hanya menulis di bukunya. Lalu diberikan ke saya,'' tandasnya.
Saat anaknya dicecar, sang anak mengaku jika perintah membayar iuran itu memang tak mengacu pada edaran sekolah. ''Jadi, ada guru yang menulis di papan seluruh biaya yang harus dibayar. Seluruh siswa disuruh menulis di bukunya untuk diberitahukan ke orang tua siswa,'' terangnya.
Yang dipertanyakan, yakni alasan sekolah menghimpun dana dari siswa tanpa selembar pun bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
Selain tak ada surat edaran, pungutan di sekolah ini juga dinilainya janggal. Banyak rincian pembayaran yang dianggapnya tak layak dilakukan sekolah, seperti iuran idul qurban. ''Keluarga saya non muslim. Tapi kenapa masih harus membayar qurban?,'' singgungnya.
Soal ini, Kasek SMA Negeri 2 Kota Mojokerto Sugiono berkilah jika iuran ratusan ribu rupiah per siswa itu bukan produk sekolah namun inisiatif masing-masing kelas dan dikordinir siswa.
''Semuanya keinginan siswa. Jadi bukan keinginan guru atau pihak sekolah,'' katanya diujung ponsel, Selasa (19/08/2014).
Seperti iuran asuransi kecelakaan, ujar Sugiono, sebenarnya sekolah sudah menghapus program tersebut. ''Tapi, karena keinginan siswa, kita tidak bisa apa-apa. Itu sudah menjadi keinginan siswa,'' elaknya. (one)
Social