Mojokerto-(satujurnal.com)
Krisis air menyusul musim kemarau melanda sejumlah desa di wilayah Kecamatan Dawar Blandong, Kabupaten Mojokerto.
Sejak dua bulan terakhir, warga utara sungai Brantas ini terpaksa memanfaatkan air waduk yang tak layak untuk konsumsi rumah tangga dan mengairi pertanian.
Akibat kekeringan, ratusan hektar lahan pertanian di wilayah ini dalam kondisi kritis. Kering dengan struktur tanah yang pecah-pecah. Tanah hanya bisa dicangkuli oleh warga, tanpa bisa ditanami padi maupun tanaman yang lain.
Seperti yang terjadi di Desa Pucuk Kecamatan Dawar Blandong. Warga setempat mencangkul tanah yang keras dan pecah pecah itu untuk persiapan tanam dimusim hujan nanti, karena kondisi air di wilayah ini tak bisa didapatkan untuk pengairan pertanian, bahkan untuk keperluan rumah tangga.
Sementara warga yang lain memanfaatkan air dari waduk tadah hujan yang masih menyisahkan sedikit air. Warga hanya bisa menyiram bibit cabe di pinggiran waduk. Jika dua bulan kedepan tak ada hujan turun, dipastikan bibit tanaman mereka akan mati.
Suwandi, warga desa Pucuk mengatakan, air waduk yang merupakan air tadah hujan menjadi satu-satunya sumber air. Mereka menggantungkan air waduk untuk berbagai keperluan, mulai dari kebutuhan rumah tangga, mandi, mencuci pakaian serta kebutuhan menyiram tanaman di sekitar waduk.
Sayangnya meski terjadi krisis air, namun Pemkab Mojokerto bergeming. Dalam dua bulan terakhir, Pemkab Mojokerto hanya satu kali melakukan pengiriman air bersih. Itu pun dengan volume terbatas, jauh dari yang dibutuhkan warga. (wie)
Krisis air menyusul musim kemarau melanda sejumlah desa di wilayah Kecamatan Dawar Blandong, Kabupaten Mojokerto.
Sejak dua bulan terakhir, warga utara sungai Brantas ini terpaksa memanfaatkan air waduk yang tak layak untuk konsumsi rumah tangga dan mengairi pertanian.
Akibat kekeringan, ratusan hektar lahan pertanian di wilayah ini dalam kondisi kritis. Kering dengan struktur tanah yang pecah-pecah. Tanah hanya bisa dicangkuli oleh warga, tanpa bisa ditanami padi maupun tanaman yang lain.
Seperti yang terjadi di Desa Pucuk Kecamatan Dawar Blandong. Warga setempat mencangkul tanah yang keras dan pecah pecah itu untuk persiapan tanam dimusim hujan nanti, karena kondisi air di wilayah ini tak bisa didapatkan untuk pengairan pertanian, bahkan untuk keperluan rumah tangga.
Sementara warga yang lain memanfaatkan air dari waduk tadah hujan yang masih menyisahkan sedikit air. Warga hanya bisa menyiram bibit cabe di pinggiran waduk. Jika dua bulan kedepan tak ada hujan turun, dipastikan bibit tanaman mereka akan mati.
Suwandi, warga desa Pucuk mengatakan, air waduk yang merupakan air tadah hujan menjadi satu-satunya sumber air. Mereka menggantungkan air waduk untuk berbagai keperluan, mulai dari kebutuhan rumah tangga, mandi, mencuci pakaian serta kebutuhan menyiram tanaman di sekitar waduk.
Sayangnya meski terjadi krisis air, namun Pemkab Mojokerto bergeming. Dalam dua bulan terakhir, Pemkab Mojokerto hanya satu kali melakukan pengiriman air bersih. Itu pun dengan volume terbatas, jauh dari yang dibutuhkan warga. (wie)
Social