Mojokerto-(satujurnal.com)
Hak-hak Odha (orang dengan HIV/AIDS)
dalam pemberitaan media massa acapkali terabaikan. Ini lantaran rambu-rambu
etika jurnalistik kadangkala ditabrak oleh wartawan dengan menampilkan sosok
penderita odha secara ‘vulgar’. Identitas Odha dalam arti luas dimunculkan
dalam materi berita sekedar menyajikan informasi yang utuh dan fakta yang benar
tentang kasus HIV/AIDS.
Hasil liputan wartawan yang kemudian dikonsumsi
oleh masyarakat luas dengan mengesampingkan stigma dan diskriminasi terhadap
odha itulah yang jadi bahasan dialog antara Komisi Penanggulangan HIV/AIDS
(KPA) Kabupaten Mojokerto dan wartawan anggota PWI Mojokerto, di aula Badan
KBPP Kabupaten Mojokerto, Sabtu (23/5/2015).
“Dampak pemberitaan terhadap Odha
sangat besar. Jika identitas Odha, semisal nama atau domisili ditulis oleh
wartawan dalam bahasa dan gambar hingga awam pun mengetahui siapa Odha yang dimaksud,
berujung pada kegelisahan yang mendalam bagi orang yang terinfeksi penyakit
mematikan itu,” kata Dina Yuniarti, Bagian Pengelola Program KPA Kabupaten
Mojokerto.
Lingkungan sekitar Odha pun, lanjut
Dina, akan lebih protektif dengan menghindari interaksi dan segala bentuk
aktivitas yang besentuhan dengan mereka (Odha). “Kasus demikian pernah terjadi
saat media lokal menyebut lokasi atau desa tempat tinggal Odha. Warga desa pun
akhirnya ‘membidik’ Odha yang bersangkutan dengan cara mengucilkan. Ini yang
seharusnya tidak terjadi,” kata pegiat AIDS yang mulai menapak di KPA tahun
2008 tersebut.
Ia pun menghimbau wartawan untuk
menghindari pemberitaan yang sensasional terkait informasi HIV dan AIDS, karena akan
menambah stigma buruk dan diskriminasi pada mereka yang terinfeksi.
“Berita yang sensasional tidak saja
menyembulkan kekhawatiran, tapi juga ketakutan, atau reaksi yang berlebihan
terhadap orang yang terinfeksi HIV. Ini bisa menyebabkan ketakutan di
masyarakat yang berakibat pada tingginya stigma dan diskriminasi pada orang
yang terinfeksi HIV,” ujarnya.
Suatu pemberitaan media massa tentang Odha,
lanjut dia, juga menimbulkan dampak positif, dengan pemberitaan dan informasi
yang lebih lengkap kepada masyarakat, termasuk tempat atau klinik untuk
melakukan uji HIV, bagaimana menyikapi diagnosa serta bagaimana melakukan
perawatan dan pengobatan jika sudah terinfeksi HIV,” ujarnya.
Namun demikian ia mengakui, dalam
banyak kasus Odha dan munculnya pemberitaan yang memunculkan stigma negatif
terjadi karena masih lemahnya komunikasi antara KPA dan media massa. “Pertemuan
ini semoga menjadi titik awal untuk lebih merekatkan KPA dan media massa agar cegah HIV/ADIS lewat media bisa lebih efektif dan pas ,” tukasnya.
Tritus Julan, wartawan Sindo yang
menjadi pemateri menyebut, pemberitaan
HIV/AIDS sangat sensitif. Sehingga sangat diperlukanpemberitaan yang seimbang
dan kehati-hatian dari wartawan. “Ada rambu-rambu dan etika jurnialistik yang
mengharuskan wartawan memperhatian beberapa hal, seperti keharusan penulisan
inisial terhadap Odha terkait pemenuhan hak dan privasi Odha,” katanya. (one)
Social