Mojokerto-(satujurnal.com)
Sekitar 30 persen atau sekitar 18
ribu peserta mandiri BPJS Kesehatan Mojokerto nunggak pembayaran iuran. Sedang
peserta dari badan usaha yang masih menunggak sekitar 16 ribu peserta.
Kepala BPJS Kesehatan Mojokerto,
Debbie Nianta mengutarakan hal itu usai pertemuan dengan aparat Kejaksaan
Negeri (Kejari) dan Disnakertrans Mojokerto bertajuk ‘Forum Pengawasan dan
Pemeriksaan Kepatuhan’ di ruang pertemuan Kejari Mojokerto, Rabu (29/7/2015).
“Kolekbilitas (tingkat pembayaran
iuran) untuk peserta mandiri sekitar 70 persen. Artinya, iuran yang macet atau
macet aktif masih sekitar 30 persen dari total peserta sekitar 60 ribu,” ungkapnya.
Sedangkan dari peserta perusahaan,
pihaknya berhasil membukukan kolekbilitas sekitar 90 persen dari sekitar 160
ribu peserta. “Sampai sekarang tercatat 10 persen perusahaan peserta atau
sekitar 16 ribu peserta masih menunggak membayar iuran,” imbuhnya.
Debbie menyebut, kolekbilitas
BPJS Mojokerto yang membawahi tiga wilayah, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto
dan Kabupaten Jombang terbilang cukup
tinggi dibanding daerah lain di Jawa Timur.
Menurut Debbie, rata-rata mereka
yang menunggak tergolong dalam kategori macet dan macet aktif. Kategori macet
merupakan kelompok tunggakan di atas enam bulan, sedangkan macet aktif
menunggak dalam periode 3 – 6 bulan. “Kalau sudah enam bulan berturut-turut
kepesertaannya kita nonaktifkan,” tukasnya.
Jika sudah dinonaktifkan, peserta
yang besangkutan tak lagi bisa menikmati fasilitasi kesehatan yang seharusnya
bisa ditanggung oleh pemerintah.
Jika peserta mengharapkan kembali
menonaktifkan, kata Debby, peserta mandiri bisa melakukan pembayaran secara
utuh dan denda yang harus ditanggung. Yakni denda sebesar 1 persen.
Jika jumlah peserta mandiri saat
ini sudah cukup banyak, berbeda dengan badan usaha. Kata Debby, masih banyak
perusahaan yang enggan mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Dari keseluruhan jumlah jumlah badan usaha di Kabupaten dan Kota Mojokerto yang
sudah mendaftarkan karyawannya kisaran 60 persen saja.
Terdata, jumlah badan usaha di
dua wilayah ini mencapai 1.055. Sementara yang sudah daftar masih kisaran
650-an perusahaan.
’’Padahal sesuai ketentuan, badan
usaha seharusnya mendaftarkan tenaga kerjanya sebagai peserta BPJS Kesehatan
paling lambat 1 Januari 2015 lalu,’’ jelas Debby.
Dari banyaknya jumlah badan usaha
yang nakal itu, katanya, didominasi oleh kalangan usaha kecil menengah (UKM). “Untuk
perusahaan mikro ke arah pengawasan,”
ujarnya.
Untuk perusahaan yang belum
mendaftar pihaknya mengirim surat teguran agar badan usaha yang bersangkutan
segera mendaftarkan karyawannya. Sedangkan mendongkrak kolekbilitas, lanjut
Debbie, selain melakukan penagihan tersurat, juga bekerja sama dengan kejaksaan
dengan memberikan SKK (surat kuasa khusus) penagihan. (one)
Social