Surabaya-(satujurnal.com)
Tiga pejabat teras Pemkot Mojokerto
saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan suap di Pengadilan Tipikor,
Surabaya, Selasa (12/9/2017) ‘kompak’ menyatakan
Walikota Mas’ud Yunus tak terlibat perkara yang menyeret mantan Kadis PUPR Kota
Mojokerto, Wiwiet Febriyanto dan tiga pimpinan DPRD setempat.
Sikap kompak ketiga pejabat tersebut,
yakni Sekdakot, Mas Agoes Nirbito, Kepala BPPKA, Agung Mulyono dan Sekretaris
DPRD Kota Mojokerto, Mokhamad Effendy muncul saat JPU KPK Iskandar Marwanto dan
Subari Kurniawan mempertanyakan soal fee yang diminta Dewan terkait pembahasan
APBD, PABD maupun proyek jasmas.
“Tidak ada arahan Walikota terkait fee
yang diminta Dewan,” ujar Agung Mulyono menjawab pertanyaan JPU Iskandar
Marwanto.
Senada juga diutarakan saksi Mas Agoes
Nirbito maupun Mokhamad Effendy.
Pernyataan ketiga pejabat teras Pemkot
Mojokerto itu bertolakbelakang dengan dakwaan JPU terkait peran Walikota Mas’ud
Yunus.
Namun, ketiganya tak menampik, bahkan membenarkan
jika pimpinan Dewan meminta uang gedok APBD maupun fee proyek jasmas.
“Permintaan itu tidak saya tanggapi dan
tegas saya tolak,” lontar Mas Agoes Nirbito.
Buntut dari penolakan, kata Mas Agoes
Nirbito, tidak muncul pemberiaan fee maupun uang gedok APBD untuk para
legislator daerah tersebut.
Selain soal dana talangan untuk
menutupi kekurangan pembayaran pekerjaan DAK fisik senilai Rp 13,35 miliar juga
pengguliran proyek kampus PENS, JPU lembaga antirasuah itu meminta ketiga saksi
membeber soal proyek Jasmas.
Agung Mulyono menyebut, dalam
nomenklatur APBD tidak ada proyek Jasmas, namun program penataan lingkungan. Sedang
alokasi dana proyek yang sering disebut proyek jasmas itu setiap tahun tidak
sama nilainya, tergantung anggaran yang masih ada setelah dipasang untuk proyek
hasil musrenbang.
“Untuk penganggaran, tidak terinci, jadi glondongan saja. Rinciannya ada di lembar kerja Dinas PUPR,” kata pejabat yang memegang kendali BPPKA sejak tahun 2014 tersebut.
Mokhamad Effendy yang sebelumnya
menjabat Kepala Dinas PU mengaku tidak tahu menahu soal sebaran anggaran proyek
Jasmas.
“Sesuai tupoksi Sekretariat Dewan,
tidak ada tugas untuk pencatatan proyek Jasmas. Dan lagi, yang membagi-bagi
(proyek) itu pimpinan Dewan. Kumpulan catatannya ada di ajudan pimpinan Dewan,
Haris dan Puguh,” aku Effendy.
Sementara itu, saksi dari swasta, Irfan
Dwi Cahyanto alias Ipang yang dihadirkan dalam persidangan ketiga kasus dugaan tindak
pidana korupsi tersebut, mengungkap jika Wiwiet Febrianto sempat mengucap kata ‘bahaya’
hingga tiga kali disambung dengan ucapan ‘triwulan’.
Belakangan, kata Ipang, diketahui jika
kata ‘bahaya’ yang disebut Wiwiet Febrianto terkait desakan pimpinan Dewan agar
segera menyelesaikan fee proyek jasmas dan jatah triwulan Dewan. “Pak Wiwiet
menyebut kata ‘bahaya’ dan ‘triwulan’ di ruang kantor dinasnya (Dinas PUPR)
saat saya menyampaikan bahwa uang pinjaman ratusan juta sudah siap untuk
diserahkan. Kejadian itu hari Jum’at , 16 Juni 2017,” aku Ipang.
Menurut Ipang, ikhwal diserahkannya
uang tunai ratusan juta rupiah bermula dari janji Wiwiet Febrianto yang akan
memberikan pekerjaan proyek fisik PAK 2017 senilai Rp 8,1 miliar dengan
kompensasi pemberian fee yang disepakati sebesar Rp 920 juta. Uang hampir satu
miliar rupiah itu akan disediakan Ipang dan Dody Irawan, pihak swasta yang juga
dihadirkan dalam persidangan ketiga tersebut. Dody Irawan pun mengakui
menyepakati akan memberi Rp 730 juta dalam dua tahap. Dalam tahap penyerahan
pertama, Dody memberikan Rp 330 juta yang dititipkan lewat Ipang. Sedangkan
Ipang menyerahkan Rp 100 juta.
Namun, Ipang yang sebelumnya sudah
melakukan konfirmasi ke staf Wiwiet maupun menelisik ke situs SIRUP LKPP
mengaku kaget. “Ternyata tidak ada proyek senilai Rp 8,1 miliar itu. Karena
tidak ada proyek, uang saya dan uang pak Dody itu menjadi uang pinjaman Pak
Wiwiet. Jadi akadnya utang piutang dengan bunga 2 persen per bulan. Batas akhir
pengembalian pokok dan bunga secara keseluruhan pada bulan Desember 2017,” ujar
Ipang.
Dalam sidang dengan Ketua Majelis Hakim
H.R. Unggul Warso Mukti tersebut, Wiwiet Febrianto yang didampingi Penasehat
Hukum, Suryono Pane mengenakan kemeja batik lengan pendek warna biru. Selama sidang
berlangsung, pria berkacamata tersebut terus menempelkan rompi oranye KPK yang
sudah dilipat ke pelipis kanannya. Ia diberi kesempatan majelis hakim untuk
mempertanyakan beberapa hal ke beberapa orang saksi.
Seperti diketahui, Wiwiet Febriyanto,
Kepala Dinas PUPR dan ketua dan dua wakil ketua DPRD Kota Mojokerto, Purnomo,
Umar Faruq dan Abdullah Fanani terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, 17
Juni 2017 lalu.
KPK mengamankan uang tunai Rp 450 juta
dari tangan Wiwiet Febriyanto dan tiga pimpinan Dewan. Keempatnya ditetapkan
sebagai tersangka dan menjadi tahanan KPK. Wiwiet Febriyanto menjadi tersangka
pertama yang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya. Uang yang
diamankan diduga berasal dari Ipang dan Dody Setiawan.
Atas perbuatan terdakwa, ucap JPU KPK
dalam surat dakwaannya, merupakan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 jo pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
pidana Korupsi juncto pasal 65 ayat (1) KUHAP. (one)
Social