Surabaya-(satujurnal.com)
Wiwiet Febriyanto sebut pimpinan Dewan
pelaku utama kasus dugaan suap yang berujung operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Dirinya melakukan penyuapan karena permintaan.
Pada persidangan lanjutan di
Pengadilan Tipikor Surabaya, Jum’at (27/10/2017), dengan agenda pembelaan
(pledoi), Suryono Pane, penasehat hukum Wiwiet Febriyanto menyatakan,
berdasarkan fakta persidangan, perbuatan yang dilakukan mantan Kadis PUPR Kota
Mojokerto itu bukan kehendak atau kesengajaan dirinya.
“Berdasarkan keterangan para saksi
dalam persidangan dapat disimpulkan bahwa pelaku utama kasus suap adalah pimpinan
dan anggota Dewan,” kata Suryono Pane.
Namun, tidak disangkal jika Wiwiet
melangkah melakukan suap kepada Dewan atas kemauannya sendiri, bukan perintah
atasannya.
“Bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa terungkap dipersidangan adalah merupakan perbuatan sendiri yang
dilakukan oleh terdakwa karena adanya permintaan dari pimpinan dan anggota DPRD
kota mojokerto dan tidak ada kerja
sama dan atau tidak ada perintah
dari Mas’ud Yunus selaku walikota
mojokerto,” tandasnya.
Perbuatan terdakwa, lanjut Pane, bukan kehendak atau bukan kesengajaan dari terdakwa, melainkan karena
adanya permintaan dari Pimpinan dan anggota DPRD kota mojokerto sehingga
terdakwa merasa tidak nyaman dalam
bekerja.
“Dan lagi tidak ada keuntungan yang didapat
oleh terdakwa dan tidak ada kerugian Negara,” kupas Pane.
Lantaran itu, Pane menilai tuntutan JPU KPK
terlalu tinggi.
“Tuntutan jaksa penuntut umum terhadap diri
terdakwa terlalu tinggi, dan
mengesampingkan aspek keadilan hukum (legal Justice) terhadap diri terdakwa,”
tukasnya.
Akibat permintaan Dewan yang berujung OTT KPK
tersebut, kini terdakwa masih mempunyai tanggungan untuk mengembalikan pinjaman
sebesar Rp. 937.000.000,- yang digunakan untuk memenuhi permintaan pimpinan dan
Pimpinan DPRD Kota Mojokerto untuk pemenuhan fee jasmas. “Terdakwa bukan pelaku
utama dalam perkara ini,” ulangnya, tandas.
Pane juga menyayangkan tidak dikabulkannya permohonan Wiwiet
Febriyanto sebagai Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku.
“Dalam uraian tuntutannya JPU KPK menyatakan permohonan
“Justice collaborator “yang diajukan oleh terdakwa tanggal 24 juli 2017 dan
oktober 2017 tidak dapat dikabulkan dengan pertimbangan, syarat syarat untuk
dapat di tetapkan sebagai “ Justice collaborator ” tidak terbukti dengan alasan terdakwa dalam perkara
dugaan tindak pidana korupsi “memberi sesuatu ” adalah pelaku utama aktif, padahal sesuai dengan fakta
persidangan pelaku utama dalam
perkara ini adalah pimpinan dan
anggota DPRD kota mojokerto,”
tandasnya.
Ia pun
meminta majelis hakim yang diketuai HR Unggul Warso Mukti mengabulkan
permohonan JC tersebut.
Persidangan lanjutan akan digelar
tanggal 10 Nopember 2017 mendatang dengan agenda pembacaan putusan hakim. Ini
lantaran Iskandar Marwanto, JPU KPK tidak mengajukan replik atas pledoi lebih
dari 300 halaman yang dibacakan tim penasehat hukum Wiwiet Febrianto di ruang
sidang Sari.
JPU beralasan, tidak mengajukan replik
karena hanya perbedaan persepsi saja.
Seperti
diketahui, JPU KPK dalam tuntutannya yang dibacakan di
persidangan sebelumya, (20/10/2017) menuntut Wiwiet Febriyanto pidana penjara selama 2 tahun serta pidana denda sebesar Rp 250.000.000 subsidiair 6 bulan kurungan.
Diberitakan sebelumnya, tiga pimpinan
DPRD Kota Mojokerto duduk di kursi terdakwa lantaran terjaring operasi tangkap
tangan (OTT), bersama Wiwiet Febrianto, mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto, pada
Jum’at (16/6/2017 hingga Sabtu (17/6/2017) dini hari. Sekitar pukul 23.30 KPK
mengamankan Purnomo, Umar Faruq dan Hanif di kantor DPD PAN Kota Mojokerto.
Dari dalam mobil milik Hanif, tim menemukan uang Rp 300 juta. Pada saat yang bersamaan, tim juga
mengamankan Wiwiet Febrianto di sebuah jalan di Mojokerto dan mengamankan uang
Rp 140 juta. Kemudian Tim KPK berturut-turut mengamankan Abdullah Fanani dan
Taufik di kediaman masing-masing. Dari tangan Taufik, tim mengamankan Rp 30
juta. Setelah menjalani pemeriksaan awal di Markas Kepolisian Daerah Jawa
Timur, keenamnya diterbangkan ke Jakarta pada Sabtu (17/6/2017) untuk menjalani
pemeriksaan lanjutan di Gedung KPK. Hanif dan Taufik, pihak swasta berstatus
sebagai saksi. (one)
Social