Walikota Mojokerto, Mas’ud Yunus dihadirkan
sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan terdakwa tiga
pimpinan DPRD Kota Mojokerto, Selasa (17/10/2017), di Pengadilan Tipikor
Surabaya bersikukuh tidak pernah melegalkan komitmen fee jasmas dan jatah
triwulan untuk legislatif.
“Saya hanya memerintahkan Wiwiet
Febriyanto (mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto yang terjerat kasus OTT KPK
bersama tiga pimpinan Dewan) untuk menemui pimpinan Dewan terkait proyek
jasmas, bukan fee jasmas maupun jatah triwulan ,” kata Mas’ud Yunus.
Orang nomor satu di lingkup Pemkot
Mojokerto yang dihadirkan sebagai saksi bersama Wiwiet Febriyanto, mantan Kadis
PUPR Kota Mojokerto dan Haris Wahyudi, ajudan pimpinan Dewan menyebut, perintah
itu hanya untuk urusan teknis jasmas. “Jadi urusan fisik jasmas yang saya minta
dikoordinasikan dengan pimpinan Dewan,” katanya.
Teks dalam rekaman pembicaraan antara
dirinya dengan Wiwiet Febriyanto di ruang kerjanya, 5 Juni 2017, yang dibacakan
kembali oleh JPU KPK tak ditampik. Namun ia menandaskan, pembicaraan itu
sebatas diskusi.
“Bukan perintah, itu diskusi. Diskusi
terkait permintaan jasmas oleh pimpinan Dewan. Tidak ada pembicaraan yang
mengarah pada perintah untuk memenuhi permintaan fee jasmas,” sergahnya.
Tatkala JPU KPK mempertanyakan sikap dirinya
yang dinilai kurang tegas menolak permintaan tambahan penghasilan yang tidak
ada regulasinya, spontan ia menyebut itu hanya persoalan bahasa penyampaian.
“Saya bilang sedang kita cari
formulanya. Itu Sebenarnya bahasa penolakan saya. Karena saya tahu permintaan
itu nyalahi aturan,” katanya.
Dengan penolakan secara halus itu,
lanjut Mas’ud Yunus, diharapkan hubungan antara eksekutif dan legislatif tetap
terjaga dan harmonis.
Tidak seperti saat dirinya menjadi
saksi dalam persidangan dengan terdakwa Wiwiet Febriyanto, dalam persidangan dengan majelis hakim yang diketuai HR Unggul Warso Mukti tersebut, JPU KPK
hanya melayangkan beberapa pertanyaan saja. Itu pun dengan materi pertanyaan
yang hampir sama.
Dalam persidangan yang berlangsung
hampir tiga jam dengan terdakwa Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani
tersebut, waktu banyak tersita untuk Wiwiet Febriyanto. Baik JPU KPK, penahehat
hukum maupun terdakwa mencecar Wiwiet soal uang pinjaman yang hampir tembus
satu miliar rupiah yang sebagian digunakan untuk menyuap Dewan.
Wiwiet Febriyanto yang mengaku
mendapat tekanan pimpinan Dewan, namun tidak mengutarakannya ke Walikota,
akhirnya merealisasi fee jasmas tersebut, tak pelak mendapat ‘serangan balik’
dari Purnomo.
“Saya minta saudara saksi jujur.
Karena setidaknya dalam dua kesempatan di hotel berbeda di Jakarta saksi
menjanjikan akan memberi fee jasmas. Jadi bukan kami yang minta, apalagi
menekan,” lontar Purnomo.
Seperti diberitakan, ketiga mantan
pimpinan Dewan tersebut duduk di kursi terdakwa lantaran terjaring operasi
tangkap tangan (OTT), bersama Wiwiet Febrianto, mantan Kadis PUPR Kota
Mojokerto, pada Jum’at (16/6/2017 hingga Sabtu (17/6/2017) dini hari. Sekitar
pukul 23.30 KPK mengamankan Purnomo, Umar Faruq dan Hanif di kantor DPD PAN
Kota Mojokerto. Dari dalam mobil milik Hanif, tim menemukan uang Rp 300
juta. Pada saat yang bersamaan, tim
juga mengamankan Wiwiet Febrianto di sebuah jalan di Mojokerto dan mengamankan
uang Rp 140 juta. Kemudian Tim KPK berturut-turut mengamankan Abdullah Fanani dan
Taufik di kediaman masing-masing. Dari tangan Taufik, tim mengamankan Rp 30
juta. Setelah menjalani pemeriksaan awal di Markas Kepolisian Daerah Jawa
Timur, keenamnya diterbangkan ke Jakarta pada Sabtu (17/6/2017) untuk menjalani
pemeriksaan lanjutan di Gedung KPK. Hanif dan Taufik, pihak swasta berstatus
sebagai saksi.
Wiwiet Febriyanto menjadi tersangka
pertama yang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya. Uang yang
diamankan diduga berasal dari dua kontraktor, Ipang dan Dody Setiawan.
Penasehat hukum, Imam Subawe yang
mendampingi Purnomo, Samsudin yang mendampingi Abdullah Fanani dan Taufik yang
mendampingi Umar Faruq.(one)
Social