Oleh: Choirul Anwar
MALAM itu udara dingin sekali, diiringi
angin bersilir sepoi-sepoi basah, semakin menambah dinginnya hawa malam, hingga
menembus baju lengan panjang berbahan kain drill yang kupakai.
Hembusannya terasa menyentuh kulit dan
merasuk dalam sumsung tulangku.
Namun hawa dingin malam itu tak
mengurungkan niatku untuk terus jalan-jalan keliling kampung dengan kendaraan
roda dua berboncengan bersama seorang teman, melewati jalan yang membentang
diantara persawahan yang memisahkan antar dusun di desa Jombatan.
Akhirnya sampai juga di sebuah kedai
kopi tepatnya disudut persimpangan jalan yang menghubungkan antara dusun
Candisari dan dusun Jombatan, Desa Jombatan, kurang lebih jarak 3 km dari
rumahku.
Aku turun dari Vespa kesayanganku, Vespa
Sprint tahun 1974 yang sudah berusia 9 tahun baru kuperoleh kala itu. Kuparkir
dekat kerumunan mereka yang sedang menyaksikan permainan karambol diteras
kedai, hingga sempat mengganggu konsentrasi mereka karena perhatiannya tersita
melihat kendaraanku.
Aku langsung menuju kursi kayu panjang
yang membujur disamping meja kedai dan kubiarkan mereka melirik vespaku.
Kutuangkan kopi panas yang baru saja
dihidangkan diatas piring kecil alas cangkir sambil menunggu agak sedikit
dingin, kuminum sambil menikmati kepulan asap rokok kretek Wismilak kesukaanku
yang sudah kusulut sejak tadi.
Nampak asik sekali suara gelak tawa dan
sorak sorai memecahkan suasana permainan diantara mereka. Ketika salah satu
dari pemain berhasil memasukkan anak karambol pada lubangnya, dengan cara
menyentilkan strikker dan memantulkannya pada karet dinding papan karambol.
Lebih ramai lagi kala strikker salah
satu dari pemain masuk dalam lubang karambol, disusul kesalahan masuknya mascot
oleh pemain lainnya menambah riuhnya suasana.
Hingga sesaat seperti lupa tak terasa
dengan dinginnya udara malam itu. Tapi tak lama kemudian beberapa diantara
mereka terlihat menyimpulkan kedua tangannya diatas dada karena kedinginan dan
sebagian yang lain kembali menarik sarung yang dikalungkan dalam pundak mereka,
dijulurkan membungkus lehernya menahan dinginnya angin malam yang berhembus
kencang.
Kututup cangkir kopi yang masih
menyisakan endapan bubuk kopi yang melekat didalamnya, setelah kuambil dan
kuoleskan pada batang rokok yang sedang kunikmati. Menjadi hal yang biasa
dilakukan bagi perokok untuk menambah nikmatnya rasa.
Aku beranjak dari kursi kedai ikut
bergabung diantara kerumunan mereka. Menyusul ikut bersorak kompak menyaksikan
permainan karambol.
Mereka semua terlihat bersuka cita
tanpa beban dalam pikirannya. Kebahagiaan itu nampak sekali pada diri mereka.
Satupun diantara mereka tak ada yang
mempertemukan kedua alis matanya.
Satupun diantara mereka tak ada yang
mengerutkan keningnya. Satupun diantara mereka tak ada yang menegang urat
pelipisnya. Satupun diantara mereka tak ada yang masam mukanya.
Hanya wajah - wajah ceria menghiasi
raut wajahnya.
Terhibur karena silaturrahmi tak
sengaja.
Dalam suasana keakraban penuh canda.
Dengan karambol sebagai media hingga
senyum mereka merekah.
Kini aku hanya bisa merindukanmu.
Namun aku tak kan mungkin dapat
menemuimu seperti kala itu.
Andai dapat kupaksakan mengulang keadaanmu dalam
saat yang sama.
Tak kan bisa Karena kau telanjur pergi
jauh hampir diujung senja. Kau tak mungkin kembali lagi walau saatmu ada pada
saat ini Karena kau akan terus berjalan tak berhenti Kecuali dalam tepian waktu
yang menjadi takdir Ilahi Terlepas dari makna hak dalam setiap waktu.
Hidup penuh damai dan kekelurgaan,
tertawa bersama mereka dengan segala kemurniannya adalah dambaan setiap insan.
Meski dengan segala keterbatasan.
Namun, kini tak jarang kita jumpai
senyum - senyum kecut.
Dari mereka yang bermuka masam.
Dari mereka yang memendam permasalahan,
dan
Dari wajah - wajah tegang yang tertekan.
Apalagi di Birokrasi, di Lembaga
Legeslatif atau mungkin ditempat lain dimana kita berdiri.
Sementara segala fasilitas mewah yang
ada.
Bagi mereka adalah bahagia.
Tetapi mereka lupa Jika kerut keningnya
yang tak pernah lepas. Adalah kesedihan nyata yang akan terus mengejarnya.
Hingga tiada batas waktu tiba.
Suasana semacam ini, ternyata
mengingatkanku kembali akan kedai kopi Mak Konah.
Entah siapa nama lengkapnya. Aku tak
pernah tahu. Tetapi kedai kopi Mak Konah dengan karambolnya kala itu, tidak
saja populer hingga didesa sekitar. Akan tetapi dapat memberikan i'tibar bagi
kita.
Betapa tidak ?. Kedai bambu agak
sedikit reot dengan lampu petromak menerangi karambolnya, mampu membangun rasa
kekeluargaan diantara mereka. Tua, muda bergabung bercengkerama bak saudara.
Bahkan tak bertemu mereka dikedai kopi
Mak Konah beberapa hari saja, terasa ada yang kurang. Baik sekedar ngopi bareng
maupun berkerumun bermain dan menonton mereka yang sedang berkarambol.
"Sampun Mak Konah, pinten? kopi
kale," "( Sudah Mak Kona, berapa ? kopi dua cangkir)," tanyaku sesaat
sebelum beranjak pulang.
"Kados biasane Nak, sekawan atus,"
"(Sepertia biasanya Nak, empat ratus rupiah)," jawab Mak Konah.
Secangkir kopi harga dua ratus rupiah
kala itu, adalah harga standart di kedai - kedai kopi pada umumnya, hampir
disetiap kedai yang berada disekitar.
"Atos - atos lho Nak ten
radosan," "(Hati - hati lho Nak di jalan)," pesannya kepadaku.
Sebuah percakapan yang menyejukkan
hati. Sejuk, sesejuk sajak rayuan cinta seiring sejuknya udara malam itu. Penuh
dengan kedamaian. Asik sekali rasanya. Tak kalah asiknya jika dibandingkan
dengan coffee shop, meski dilengkapi segala fasilitas dan wifinya yang ada pada
saat ini.
Di meja-meja ‘coffee shop’, kebanyakan
mereka sibuk dengan HPnya masing masing hingga berjam - jam lamanya tak menyapa
satu sama lainnya. Individualistis.
Lain halnya dengan kedai kopi Mak Konah
kala itu, meski dengan fasilitas seadanya dan hanya dilengkapi karambol. Tetapi
banyak hal yang kita peroleh. Belum lagi i'tibar yang dapat kita petik dari
permainan karambol itu sendiri.
Berkarambol dalam arti menyentilkan
strikker dan memantulkannya memasukkan buah karambol kedalam lubangnya. Tentu
dengan mengambil pelajaran dari folosofi karambol yang bersifat positif dan bukan
dalam arti yang negatif.
*) Penulis adalah Kabag Humas dan
Protokol Pemerintah Kota Mojokerto.
Social