Surabaya-(satujurnal.com)
Umar Faruq dan Abdullah
Fanani, dua mantan wakil ketua DPRD Kota Mojokerto, terdakwa kasus dugaan
korupsi yang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya berharap .
jika diputus bersalah, bisa menjalani hukuman badan di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) Mojokerto. Alasan agar dekat dengan keluarga mengemuka dalam
persidangan dengan agenda pembacaan pleidoi atau pembelaan, Selasa
(28/11/2017).
Sedangkan Purnomo, mantan
ketua DPRD Kota Mojokerto tidak mengemukaan keinginan seperti dua sejawatnya
itu.
“Jika dalam putusan hakim
nanti saya ditetapkan bersalah dan harus menjalani hukuman pidana penjara,
dengan hormat dalam kesempatan ini saya mohon untuk ditempatkan pada Lembaga
Pemasyarakatan Mojokerto agar saya dapat dikunjungi oleh anak dan istri, serta
keluarga besar saya karena alasan biaya dan kedekatan lokasi,” kata Umar Faruq
saat membacakan nota pembelaan pribadinya.
Dengan penempatan saya di
Lembaga Pemasyarakatan Mojokerto, ucap Umar Faruq lebih jauh, akan membantu
mempermudah kunjungan jika sewaktu-waktu terjadi gangguan kesehatan. “Atau
barangkali saya masih bisa membantu mengerjakan PR anak-anak saya meskipun saya
berada di penjara,” ujar bapak tiga anak itu seraya terisak.
Tiga anak, masing-masing
berusia 14 tahun, 9 tahun dan 8 tahun, kata Umar Faruq masih membutuhkan
keberadaan dirinya secara fisik, butuh kasih sayang dan bimbingan. “Saya sangat
sedih karena mereka tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa, namun mereka saat
ini jadi terimbas ikut menanggung akibatnya,” katanya.
Hal yang sama diutarakan
Abdullah Fanani. Ia berharap bisa menjalani sisa hukuman di Lapas Mojokerto.
“Agar lebih dekat dengan
keluarga. Terlebih anak-anak saya masih membutuhkan perhatian, bimbingan dan
motivasi belajar,” ujarnya.
Fanani yang sudah menjalani
tahanan sekitar lima bulan sejak 17 Juni 2017 mengungkap, ia dijemput penyidik
KPK saat berkumpul bersama istri dan anak di rumahnya.
Pria yang mengaku berasal
dari keluarga religious itu bulan September lalu menjadi seorang kakek. Ia
memiliki cucu pertama dari putri kedua.
“Tapi sampai detik inipun
saya belum bisa melihat secara langsung, menggendong, menimang dan mencium cucu
saya. Betapa sedih sekali, di tengah kebahagiaan yang hadir di keluarga saya,
saya harus bertanggungjawab untuk menjalani dan menyelesaikan proses hukum ini
hingga selesai,” katanya, lirih.
Purnomo dalam nota pembelaan
pribadi tidak banyak berkeluh kesah masalah keluarga. Fakta-fakta yuridis
selama persidangan berlangsung justru menjadi materi pembelaannya.
Ia mengaku tidak akan mampu
membayar denda ratusan juta rupiah, jika itu menjadi putusan hakim. “Denda
ratusan juta rupiah darimana uang itu kami peroleh, sedangkan kami sudah
diberhentikan sebagai anggota DPRD Kota Mojokerto,” katanya.
Seperti diketahui, dalam
operasi tangkap tangan (OTT) pada pertengahan Juni 2017 KPK mengamankan 6 orang
di beberapa tempat di Kota Mojokerto. 4 orang di antaranya berdasarkan hasil
pemeriksaan dan gelar perkara kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Mereka
adalah Purnomo, ketua Dewan Mojokerto, Umar Faruq dan Abdullah Fanani,
masing-masing waki ketua Dewan dan Wiwiet Febriyatno. Saat itu KPK juga
mengamankan sejumlah uang tunai dalam pecahan rupiah sebesar Rp 470 juta.
Keempatnya menjalani proses
persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Wiwiet Febriyanto dijatuhi vonis
sesuai tuntutan JPU KPK dengan pidana 2 tahun pidana penjara, denda Rp 250 juta
subsider 6 bulan kurungan. Saat ini baik Wiwiet Febriyanto maupun KPK
mengajukan banding. Sedangkan, 3 tersangka lainnya yang diduga sebagai penerima
suap menjalani proses tuntutan. Mereka dituntut pidana 5 tahun, denda 200 juta
subsider 6 bulan dan 3 bulan. (one)
Social