Mojokerto-(satujurnal.com)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Mojokerto menelurkan fatwa haram atas praktek suap, korupsi dan pemberian hadiah kepada penjabat berlandaskan Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
Hasil keputusan MUI Kota Mojokerto tentang fatwa tersebut dibacakan Sekretaris Komisi Fatwa, Abdul Wachid dalam Rapat Koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkumpimda) Kota Mojokerto di Hotel Ayola, Sunrise, Rabu (25/4/2018).
Abdul Wachid mengatakan, alasan mendasar hingga lembaga ini harus menelurkan fatwa tersebut, karena masyarakat kembali mempertanyakan status hukum risywah atau suap, korupsi dan pemberian hadiah kepada pejabat.
“Pertanyaan masyarakat tentang tiga hal ini berkaitan dengan penegakan pemerintahan yang bersih dan sehat,” kata Abdul Wachid.
Ada empat butir fatwa yang diputuskan 16 April 2018 tersebut, yakni tentang Risywah, suap, hadiah kepada pejabat dan korupsi.
“Risywah adalah pemberian seseorang kepada orang lain atau pejabat dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil atau membatalkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy,” kata Abdul Wachid menyebut butir pertama.
Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya, katanya menyebut butir kedua, dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
Hadiah kepada pejabat, yang termaktub dalam butir ketiga, ujarnya, adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
Sedangkan korupsi yang disebut dalam butir keempar fatwa itu, katanya, dikategorikan sebagai tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.
“Pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab seluruh masyarakat,” tukas Abdul Wachid.
Sementara itu, Walikota Mojokerto, Mas’ud Yunus menyatakan pihaknya menyambut baik fatwa MUI Kota Mojokerto tersebut.
“Fatwa MUI ini sifatnya himbauan. Memang tidak ada sanksi hukum jika tidak mematuhi fatwa, tapi ada sanksi moral yang harus ditanggung si pelaku suap, korupsi, pemberian hadiah kepada pejabat,” katanya.
Dalam konteks pemilukada, kata Mas’ud Yunus, menjadi kewajiban Pemkot Mojokerto dan KPU setempat untuk mensosialisasikan fatwa.
“Saya berharap kepada seluruh masyarakat untuk mentaati fatwa MUI terutama mereka yang beragama Islam sebagai landasan moral keagamaan. Mari kita jadikan pemilukada itu bagian dari ibadah kita,” ajak dia. (one)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Mojokerto menelurkan fatwa haram atas praktek suap, korupsi dan pemberian hadiah kepada penjabat berlandaskan Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
Hasil keputusan MUI Kota Mojokerto tentang fatwa tersebut dibacakan Sekretaris Komisi Fatwa, Abdul Wachid dalam Rapat Koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkumpimda) Kota Mojokerto di Hotel Ayola, Sunrise, Rabu (25/4/2018).
Abdul Wachid mengatakan, alasan mendasar hingga lembaga ini harus menelurkan fatwa tersebut, karena masyarakat kembali mempertanyakan status hukum risywah atau suap, korupsi dan pemberian hadiah kepada pejabat.
“Pertanyaan masyarakat tentang tiga hal ini berkaitan dengan penegakan pemerintahan yang bersih dan sehat,” kata Abdul Wachid.
Ada empat butir fatwa yang diputuskan 16 April 2018 tersebut, yakni tentang Risywah, suap, hadiah kepada pejabat dan korupsi.
“Risywah adalah pemberian seseorang kepada orang lain atau pejabat dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil atau membatalkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy,” kata Abdul Wachid menyebut butir pertama.
Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya, katanya menyebut butir kedua, dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
Hadiah kepada pejabat, yang termaktub dalam butir ketiga, ujarnya, adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
Sedangkan korupsi yang disebut dalam butir keempar fatwa itu, katanya, dikategorikan sebagai tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.
“Pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab seluruh masyarakat,” tukas Abdul Wachid.
Sementara itu, Walikota Mojokerto, Mas’ud Yunus menyatakan pihaknya menyambut baik fatwa MUI Kota Mojokerto tersebut.
“Fatwa MUI ini sifatnya himbauan. Memang tidak ada sanksi hukum jika tidak mematuhi fatwa, tapi ada sanksi moral yang harus ditanggung si pelaku suap, korupsi, pemberian hadiah kepada pejabat,” katanya.
Dalam konteks pemilukada, kata Mas’ud Yunus, menjadi kewajiban Pemkot Mojokerto dan KPU setempat untuk mensosialisasikan fatwa.
“Saya berharap kepada seluruh masyarakat untuk mentaati fatwa MUI terutama mereka yang beragama Islam sebagai landasan moral keagamaan. Mari kita jadikan pemilukada itu bagian dari ibadah kita,” ajak dia. (one)
Social