Mojokerto-(satujurnal.com)
Peliknya mengelola dana kelurahan
diutarakan sejumlah lurah di Kota Mojokerto saat hearing dengan Komisi II Dewan
setempat, Selasa (24/9/2019).
Ketua Komisi II DPRD Kota Mojokerto,
Moch Rizky Fauzi Pancasilawan mengatakan, dari data empirik yang dikumpulkan
pihaknya, permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dana kelurahan ada di dua
pihak, yakni LPM dan kelurahan.
“Sebenarnya pengelolaan dana kelurahan
sudah ada juklak dan juknisnya. Tapi di lapangan banyak permasalahan yang harus
dihadapi. Kesempatan ini (hearing) untuk mengetahui akar masalah dan bagaimana
langkah yang seharusnya diambil,” kata Rizky.
Komisi yang membidangi perekonomian
dan pembangunan yang didampingi Wakil Ketua Dewan Junaedi Malik pun meminta para camat dan lurah blak-blakan menguak
biang tersendatnya pengelolaan dana kelurahan.
Soal progress report dana kelurahan, tiga
camat mengungkap, jika para lurah yang notabene tak mengantongi sertifikasi
pengadaan barang dan jasa dihadapkan pada kewajiban untuk mengelola dana yang
bersumber dari APBD dan dana alokasi umum (DAU) tambahan itu. Panduan tim
pendamping bentukan Pemkot Mojokerto disebut belum cukup jadi bekal bagi para
lurah yang harus jadi PPK sekaligus mengelola dana miliaran rupiah dari dua
pundi anggaran itu.
Diulas, dari kekuatan APBD 2019, muncul
dana kelurahan sebesar 5 pesen atau sebesar sekitar Rp 49 miliar yang ditebar
secara proporsional untuk 18 kelurahan se Kota Mojokerto, antara Rp 3 miliar
sampai 6 miliar. Anggaran ini untuk proyek infrastruktur di wilayah kelurahan.
Sedangkan DAU tambahan yang diterima
setiap kelurahan sebesar Rp 352 juta yang diserap dalam dua tahap. Setiap tahap
yang diserap 50 persen. Dana ini untuk
kegiatan pemberdayaan masyarakat,
seperti pembangunan infrastruktur dan nonfisik sesuai Permendagri No.130/2018 tentang
Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Kelurahan dan Pembedayaan Masyarakat
di Kelurahan.
Hanya saja, lantaran terjadi
keterlambatan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban DAU tambahan tahap
pertama, dipastikan tahap kedua tak bisa diserap alias hangus.
Sikap kehati-hatian para lurah yang
kali pertama menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) dan PPK untuk kegiatan berbasis
dana kelurahan itu menurut para camat dipilih
agar tak menuai permasalahan hukum nantinya. Namun, sikap itu berujung
rendahnya penyerapan dana kelurahan tahap I dengan serapan dana kelurahan se
Kota Mojokerto kurang dari 50 persen.
Bahkan ada satu kelurahan yang sama
sekali belum menyerap dana kelurahan, seperti diungkap Yusuf, Camat Prajurit
Kulon.
“Kelurahan Blooto (Kecamatan Prajurit
Kulon) sampai saat ini penyerapan (dana kelurahan) masih nol. Kondisi ini
dikarenakan minimnya SDM. Tiga perangkatnya pensiun. Jadi yang ada hanya lurah
selaku KPA dan PPK dan kasie trantip yang merangkap menjadi PPPK,” kata Yusuf.
Beberapa lurah yang diminta Komisi II
membeber ikhwal lemahnya penyerapan dana kelurahan, mengemukakan berbagai hal,
dari soal perencanaan proyek fisik garapan Dinas PU yang tidak bisa diterapkan
lantaran beda gambar dengan kondisi lapangan, hingga soal rumitnya penyelesaian
dokumen pertanggungjawaban.
Mereka seolah mendapat angin untuk
menyampaikan uneg-uneg soal dana kelurahan yang kini menjadi PR besar ditengah tugas utama sebagai kepala
kelurahan.
Beban kerja yang berat untuk mengeksekusi
dana kelurahan pun dilontarkan Riyadi, Lurah Kauman, Kecamatan Kranggan. “Lurah
dengan kepangkatan eselon IV beban kerjanya seperti kepala dinas,” ujarnya
tanpa bermaksud berseloroh.
Bahkan, melalui Dewan, Riyadi berharap
bisa disampaikan usulan penambahan tunjangan kinerja. Sontak celetukan Riyadi
disambut senyum simpul sejawatnya. Pun para awak Komisi II. (one)
Social